Oleh Imam Shamsi Ali*
MINIMAL dalam dua puluh tahun terakhir ini Umat Islam di Amerika berada dalam putaran roda yang tidak menyenangkan. Sejak revolusi Iran, perang Afghanistan, hingga perang Irak pertama, Komunitas Muslim berada dalam situasi yang kurang menyenangkan. Bahkan pada tingkatan tertentu berada dalam sangkar kesulitan seolah tiada pelarian.
Dari masa ke masa Komunitas Muslim Amerika berjuang untuk lepas dari sangkar tersebut. Termasuk melalui ijtihad politik. Bahkan tidak jarang ijtihad politik itu melahirkan friksi di antara komunitas Muslim sendiri.
Revolusi Iran dengan peristiwa penyanderaan diplomat Amerika di Kedubes Iran, dan naiknya Ayatullah Khomeini sebagai Pemimpin Tertinggi (Supreme Leader) Iran menjadikan Islam seolah terwakili oleh semua itu. Tiba-tiba Iran seolah wakil wajah dunia Islam. Dan Khomeini seolah menjadi “Imam Besar” bagi Umat Islam dunia.
Perang panjang antara Iran dan Irak dengan perpanjangan tangan Amerika juga tidak dapat dilepaskan dari berbagai ujian kepada Komunitas Muslim di Amerika. Perang itu seolah meneguhkan keyakinan Barat bahwa Islam memang agama perang.
Perang Afghanistan di kemudian hari yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya Uni Soviet, dan justeru difasilitasi oleh Amerika dan sekutunya, juga tidak lepas dari kontribusi besar dalam membangun imej buruk Islam di Amerika dan dunia Barat.
Di tengah gejolak perang Saudara di Afghanistan, tiba-tiba saja Saddam Husain mencaplok Kuwait. Maka Saudi dan Kuwait kemudian membuka pintu bagi Amerika untuk masuk Timur Tengah. Dan di sinilah awal kehancuran negara-negara Timur Tengah.
Ketidakberhasilan Bush Sr. menjatuhkan Saddam rupanya menyimpan dendam tersendiri bagi anaknya, Bush Jr, untuk kembali menyerang Irak. Dan terjadilah perang II yang menjatuhkan Saddam dan memporakporandakan Irak. Dari negara yang kaya dan makmur menjadi negara miskin dan terbelakang. Kekayaan Irak diambil alih oleh perusahaan-perusahaan Amerika, termasuk milik Dick Cheney Wapres Bush Jr.
Berbagai perang di dunia Islam ini menjadi salah satu faktor utama meningginya kesalahpahaman dan ketakutan kepada Islam (Islam phobia). Islam semakin diyakini sebagai agama perang. Yang dianggap ancaman bagi Amerika dan Barat setiap saat.
Puncak kesalahpahaman dan ketakutan itu terjadi dengan peristiwa 9/11 di tahun 2001 itu. Dengan serangan langsung ke jantung kapitalisme dunia (New York) Amerika seolah menemukan justifikasi jika Islam memang sebuah ideologi yang anti Barat dan musuh yang harus diwaspadai.
Perjuangan Komunitas Islam Amerika
Keberadaan Komunitas Islam di Amerika bukan sekedar keberadaan biasa. Selain harus memperkuat diri (self empowerment) untuk membangun Komunitas yang solid sehingga memainkan peranan dan kontribusi yang signifikan dalam membangun Amerika ke arah yang lebih baik, juga punya peranan untuk meredam atau melawan tendensi kesalahpahaman kepada Islam itu.
Usaha-usaha atau perjuangan itu termasuk di dalamnya partisipasi publik, partisipasi politik di antaranya. Saya mengistilahkan ini sebagai “ijtihad politik” Umat untuk membendung kesalahpahaman dan ketakutan kepada Islam.
Dalam sejarahnya Komunitas Muslim Amerika mayoritasnya memberikan suara kepada kandidat dari partai Demokrat. Tentu salah satu pertimbangannya adalah karena Partai Demokrat memiliki “Platform” partai yang lebih bersahabat. Salah satunya adalah bahwa partai ini (secara teori) tidak terlalu ambisi perang. Dana militer dikurangi. Anggaran negara diperbanyak dalam pelayanan masyarakat (social services). Sehingga wajar kalau Republican menuduh mereka sosialis.
Ambillah misalnya zaman Clinton di mana warga Muslim mendukungnya. Salah satu hasil dari dukungan itu adalah ketegasan Presiden Clinton membela warga Muslim di Bosnia ketika itu. Tentu secara global memang Amerika punya kepentingan melawan Rusia saat itu.
Ijtihad politik Umat menjadi lebih nampak pada pilpres Amerika di tahun 2000. Saat itu pertarungan antara Al Gore dari Partai Demokrat dan GW Bush Jr dari Partai Republican. Al Gore adalah mantan wakil Clinton yang cukup populer ketika itu. Sehingga banyak yang memperkirakan Al Gore akan dengan mudah memenangkan pilpres saat itu.
Yang terjadi kemudian adalah Al Gore memilih Senator Lieberman dari Connecticut yang beragama Yahudi dan sangat pro Israel sebagai cawapresnya. Maka orang Islam, khususnya mereka yang immigran menyatukan suara untuk mendukung kandidat Republican GW Bush Jr.
Ijtihad politik ini selain membawa friksi di kalangan Komunitas Muslim, juga membawa malapetaka besar dengan perang Irak II yang telah disebutkan di atas. Belum lagi karena 9/11 2001 berbagai kebijakan GW Bush sangat menekan Komunitas Muslim. Satu di antaranya adalah kebijakan “war on terror” (perang melawan teror) ternyata banyak dimaknai sebagai perang kepada Islam.
Harapan kemudian tumbuh delapan tahun kemudian. Tiba-tiba ada seorang Afro Amerika, muda dan kharismatik, pintar dan berwawasan luas, lolos menjadi kandidat Presiden Amerika dari Partai Demokrat. Barack Obama menjadi harapan Umat saat itu.
Selain berlatar belakang aktifis, yang pasti paham kehidupan rakyat bawah termasuk keragaman yang ada. Dia juga pernah tinggal di sebuah negara Muslim terbesar dunia (Indonesia). Sedikit banyaknya capres Amerika ini tahu akan Islam yang sesungguhnya. Minimal ada memori tentang kehidupan Umat Islam yang normal (tidak ditakuti).
Ternyata harapan itu tidak juga terbukti secara maksimal. Barack Obama berusaha menjaga jarak (tanpa langsung) dengan Komunitas Muslim Amerika karena tumbuh imej (bahkan tuduhan) jika Barack Obama adalah Muslim yang terselubung.
Tapi lebih dari itu beberapa kebijakan Barack Obama juga merugikan Komunitas Muslim, baik di Amerika maupun di dunia internasional. Di zaman Obama program mata-mata (surveillance) Bush masih berlanjut. Tapi yang terpenting di zaman Barack Obamalah terjadi serangan “Drone” (senjata tanpa manusia) besar-besaran ke dunia Islam.
Satu peristiwa yang terjadi dan tidak terlupakan adalah serangan drone ke Pakistan yang menewaskan keluarga 12 orang yang sedang makan malam. Tindak lanjut peristiwa ini hanya diselesaikan dengan dukungan politik kepada Musyarraf. Menyedihkan!
Artinya dengan segala hal positif, termasuk suasana yang lebih bersahabat, Barack Obama juga tidak bisa melakukan banyak hal untuk mengurangi “damages” (kerusakan-kerusakan) yang ditimbulkan oleh berbagai kebijakan pemerintahan Amerika.
Barack Obama berakhir dengan manis tapi pahit. Tiba-tiba Amerika mendapat cobaan (musibah) dengan terpilihnya Donald Trump, seorang yang rasis, memiliki ideologi ekstrem kanan, dan berdarah white supremacy. Maka sempurnalah penderitaan Komunitas Muslim Amerika.
Saya Tentu tidak perlu mengulangi lagi tantangan-tantangan yang dialami Umat di bawah pemerintahan Donald Trump. Semua sudah berulang kali dibahas di berbagai kesempatan dan menjadi pengetahuan umum yang terbuka.
Harapan pada Biden
Dengan semua pengalaman masa lalu itu, baik pada era Demokrat maupun Republican, walaupun kenyataannya bahwa Biden adalah bagian dari masa lalu itu, Umat tidak pernah putus asa. Kita jalani, alami, dan mengambil ibrah (pelajaran) dari semua itu.
Dari masa ke masa Komunitas Muslim berusaha memainkan peranan aktif, bahkan pro aktif, dalam membangun kekuatan dan partisipasi politiknya. Dan semua itu tentunya dibangun di atas dasar ijtihad, yang boleh benar dan mungkin juga salah.
Kini Komunitas Muslim memberikan suaranya kepada Kandidat Joe Biden. Tentu harapannya akan ada perubahan ke arah yang lebih baik. Bahwa di bawah pemerintahan Joe Biden akan tumbuh lingkungan atau suasana yang lebih terbuka dan bersahabat.
Saya selalu mengatakan “kita tidak mengharapkan keistimewaan dari pemerintah Amerika. Yang kita harapkan hanya ruang yang netral/sama seperti warga Amerika yang lain”. Berikan kepada kami ruang yang sama itu. Dan kami akan mengambil bagian untuk berkompetisi dalam memberikan kontribusi bagi negara dan bangsa Amerika.
Kini Biden telah menyampaikan banyak janji. Salah satunya adalah bahwa Biden akan segera meniadakan kebijakan diskriminatif Trump yang dikenal dengan Muslim Ban atau larangan orang Islam masuk Amerika.
Tentu harapan itu tinggi. Apalagi selama kampanye Biden mengutip hadits Rasul: “siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaknya diubah dengan tangannya. Kalau tidak mampu dengan lisannya. Dan kalau masih tidak mampu hendaknya diubah dengan hatinya”.
Maka dengan “insya-Allah” (dengan kehendak Allah) yang juga Biden sempat ucapkan dalam acara debat kandidat, kita banyak menaruh harapan. Harapan yang tidak saja bahwa Biden akan meniadakan “Muslims Ban”. Tapi juga harapan besar bahwa Biden juga akan meniadakan “Muslims Bom”.
Dengan kata lain, harapan kami warga Muslim Amerika kepada Biden akan ada perubahan dan perbaikan secara domestik dengan menghapus Muslim Ban. Tapi juga harus ada perubahan kebijakan Amerika di Dunia Islam. Salah satunya hentikan “membom Umat Islam” (Muslims Bom).
Harapan Umat kepada Biden: Hentikan Muslim Ban dan Muslim Bom!
Tapi akhirnya akankah itu terwujud?
Yakinlah semua itu banyak ditentukan oleh Umat Islam sendiri. Baik yang di Amerika maupun yang ada di negara-negara Islam. Amerika tidak akan intervensi ke negara mana saja jika tidak ada yang memainkan kepentingan sempit di negara itu sendiri.
Dan biasanya, pengkhianat terbesar sebuah bangsa adalah pemimpinnya sendiri. Mereka yang kadang punya kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan dengan mencari perlindungan di balik kekuatan Amerika.
Dan Amerika yang juga punya kepentingan globalnya menangkap peluang itu. Maka terjadilah kolaborasi jahat melawan kepentingan bangsa dan rakyat.
Semoga Biden memang membawa angin segar. Amin! (*)
New York, 16 November 2020
* Imam di kota New York/
Presiden Nusantara Foundation
No comments:
Post a Comment