Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi
PADA hari Selasa 15 Desember kemarin, saya mendapat kehormatan menyampaikan ceramah agama pada acara Refleksi Akhir Tahun Gubernur Sulawesi Selatan. Acara ini dihadiri oleh Gubernur dan seluruh jajaran pemerintah provinsi dan daerah/kota se Sul-Sel, termasuk Ketua dan anggota DPRD Sul-Sel, Kodam, Kapolda, dan Kajati Sul-Sel.
Acara yang awalnya direncanakan dilangsungkan secara langsung (in person atau inland) di hotel Claro Makassar ini diubah menjadi acara virtual karena Covid di kota Makassar dalam dua hari ini tiba-tiba meninggi. Karenanya Gubernur menyampaikan sambutan dan laporan capaian pembangunan dalam setahun terakhir dari Rujab. Sementara saya didampingi Bapak Sekda menyampaikan ceramah agama dari aula pertemuan kantor Gubernuran.
Berikut saya sampaikan beberapa poin
dari presentasi yang saya sampaikan dengan tema “Mewujudkan daerah/negeri sebagai baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghafuur”.
Pertama, saya membuka dengan mengingatkan kembali, khususnya para ustadz dan tokoh agama, agar membantu pemerintah dalam menghadapi Covid 19 ini. Mentaati protokol kesehatan, termasuk memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, bukan tanda lemahnya iman. Justeru hal itu menjadi bagian dari ajaran Islam kita. Covid itu nyata dan semua punya tanggung jawab untuk memeranginya.
Kedua, cinta daerah atau negeri itu merupakan salah satu naluri dasar (tabiat) manusia. Dan karenanya sejauh-jauh kita berjalan, sebanyak negeri yang dikunjungi, ada kerinduan untuk kembali kepada daerah atau negeri sendiri. Ini sebuah kesadaran yang perlu dipertahankan sehingga anak-anak daerah/negeri di manapun harus punya komitmen untuk membangun daerah/negerinya.
Ketiga, sebagai bagian dari refleksi akhir tahun, kita perlu membangun kesadaran bahwa hidup ini adalah amanah. Dan salah satu aspek amanah itu adalah ketika kita diamanahi “posisi pengabdian” (tidak harus kekuasaan) kepada masyarakat.
Ini adalah amanah Allah yang harus dijaga dan ditunaikan secara amanah dan penuh tanggung jawab. Karena pada akhirnya akan ada pertanggungjawaban, tidak saja di dunia ini. Tapi yang terpenting di akhirat nanti.
Keempat, daerah/negeri ini punya semua potensi untuk maju, kuat dan besar untuk sejajar dengan daerah/negeri hebat lainnya. Untuk Sul-Sel, selain sumber daya alam yang hebat, juga SDM yang handal dan berani.
Karenanya mewujudkan Sul-Sel menjadi daerah kuat, makmur dan berkeadilan bukan tanpa dasar. Kekayaan alam dan kekayaan budaya, didukung oleh karakter manusia yang berani (terkadang nekat) menjadi modal tersendiri bagi kekuatan dan kemajuan daerah ini.
Kelima, untuk mewujudkan sebuah daerah menjadi daerah kuat, makmur dan berkeadilan (baldatun thoyyibatun) diperlukan beberapa perangkat dasar. Semua perangkat ini menjadi tanggung jawab pemerintah, tokoh agama/masyarakat dan tentunya masyarakat secara umum.
Perlunya membangun self confidence. Bahwa potensi yang ada itu, baik SDA maupun SDM, jika tidak dibarengi oleh sebuah rasa percaya diri (self confidence) dan keberanian pastinya tidak akan maksimal. Percaya diri itu bukan dengan karakter superman atau superwoman. Tapi terbangun di atas asas iman kepada Allah SWT. Bahwa dengan iman itu manusia memiliki kekuatan untuk mengembangkan potensi yang ada untuk mewujudkan daerah/negeri yang sukses dan kuat.
Pembangunan yang menghubungkan antara nilai-nilai langit dan bumi. Dalam pandangan Islam pembangunan yang berhasil terlihat ketika dua sisi keberkahan menyatu. Yaitu keberkahan langit dan bumi.
Al-Quran manggarisbawahi: “sekiranya penduduk kota itu beriman dan bertakwa niscaya Kami (Allah) akan bukakan keberkahan langit dan bumi.”
Membangun infrastruktur dengan jalan-jalan dan jembatan penting. Tapi semua itu akan bermakna ketika infrastruktur (Iskan-jalan dan jembatan) ke langit juga terbangun.
Untuk mewujudkan pembangunan yang kuat dan berkemajuan diperlukan kebersamaan dan persatuan semua pihak. Persatuan adalah kekuatan. Bercerai berai itu adalah kelemahan yang sangat berbahaya. Kebersamaan itu bukan menyamakan. Maka yang diperlukan adalah keragaman, bukan keseragaman.
Karenanya dalam sebuah tatanan masyarakat akan selalu ada perbedaan-perbedaan. Dengan perbedaan itu terjalin kesatuan dan kebersamaan. Sebab jika tidak ada lagi perbedaan maka persatuan dan kebersamaan bukan lagi isu yang perlu dibicarakan.
Pembangunan itu harusnya berlandaskan kepada “kesadaran sosial” yang tinggi. Yaitu adanya rasa tanggung jawab untuk bersama-sama merawat kebaikan dan kesalehan (al-ma’ruf) dan melawan kebatilan dan penyelewengan (al-mungkar). Kesadaran amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi tuntutan mendasar dalam kehidupan publik. Dan karenanya pembangunan tidak boleh mengesampingkan kesadaran tersebut.
Satu di antara bentuk kesadaran sosial itu adalah semangat masyarakat untuk meluruskan yang salah dari pemerintahnya. Jika tidak maka pemerintah dapat melakukan kesemenaan yang akan merugikan warganya.
Pembangunan dalam Islam itu memiliki orientasi ukhrawi (akhirah oriented development). Pandangan ini sekaligus merupakan antithesis dari konsep pembangunan yang sekedar berorientasi material. Islam memandang bahwa pembangunan yang bertujuan ukhrawi akan memperkokoh semangat dan tanggung jawab membangun dunia.
Dengan wawasan akhirat dunia dengan sendirinya akan mengikut. Tapi memburu dunia justeru rentang menelantarkan akhirat. Karenanya akhirat harus menjadi tujuan mendasar dari pembangunan.
Pembangunan dalam Islam itu terbangun di atas asas kebenaran dengan kesadaran tanggung jawab. Kebenaran dan tanggung jawab itulah yang terangkum dalam terminologi publik yang dikenal dengan integritas. Karenanya pembangunan dalam Islam harus memiliki karakter integritas.
Integritas inilah yang dikenal dalam agama dengan “moral ground” (landasan moral) atau akhlak mulia.
Pembangunan dalam Islam harus berorientasi “the excellence” (terbaik atau the best). Dalam istilah Al-Quran membangun masyarakat itu berwawasan “Khaer Ummah”. Inilah yang kemudian harus diterjemahkan Ke dalam pembangunan yang bercirikan “the excellence” itu.
Untuk mewujudkan pembangunan yang berorientasi “Khaer” atau “excellence” itu perlu dibangun wawasan global yang menjadi karakter dasar dunia kita saat ini. Wawasan global ini minimal diterjemahkan dalam bentuk kesadaran akan dunia yang “interconnnected” (saling tergantung) dan kompetitif (persaingan ketat).
Di dunia yang saling bergantung itu semua harus menyadari bahwa untuk survive (mampu bertahan) diperlukan komitmen untuk membangun kerjasama dengan siapa saja. Dalam dunia global manusia hidup dalam satu rumah, di bawah atap yang sama. Jalan satu-satunya untuk menjaga kenyamanan dan kedamaian hidup adalah dengan kerjasama (partnership).
Selain itu untuk mampu bertahan (survive) dalam dunia global saat ini kita dipaksa untuk masuk dalam arena kompetisi yang dahsyat. Itulah satu-satunya pilihan. Siap dan mengambil bagian dalam kompetisi dunia dan menang. Atau menjadi penonton yang pada akhirnya akan tergilas dan menjadi korban kompetisi yang ganas dan kerap kali kejam itu.
Semoga Allah menguatkan dan menjaga! (*)
Bandara Macazzart, 17 Desember 2020
* Ringkasan presentasi pada acara refleksi akhir tahun Gubernur Sul-Sel, Selasa 15 Desember 2020 lalu.
No comments:
Post a Comment