SIDOARJO (DutaJatim.com) - Sudah bukan zamannya lagi pimpinan itu merasa hebat. Kita bisa menjadi besar karena ada yang kecil.
Demikian pula seorang pemimpin yang merasa bisa semua. Pemimpin harus bisa membedakan: Rumangsa bisa dan bisa rumangsa. Bahwa setiap orang itu tidak sama. Unity in diversity, bagaimana menghargai keberagaman.
Jangan membentur-benturkan perbedaan. Jangan memerkeruh suasana namun justru kita menjadi bagian dari solusi permasalahan sehingga kehadiran kita semua akan mendamaikan. Warga yang terserak dan terfragmentasi bagaimana harus dirangkul agar menjadi satu kesatuan.
Hal ini disampaikan Dr. NG. Tirto Adi MP, MPd, dalam acara Padhang Bulan di Kampung Seni dengan tema “Refleksi Akhir Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan dan Komunitas Kampung Seni Sidoarjo, Selasa siang (29/12/2020). Acara yang sudah berlangsung 6 (enam) kalinya ini sebelum ini diselenggarakan malam hari. Namun mengingat biasanya malam hari dilanda hujan, kali ini diadakan siang hari.
Meski jabatan formalnya adalah Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, mantan Sekretaris Dinas Pendidikan ini banyak dikenal sebagai seorang akademisi dan penulis yang produktif serta penggerak budaya literasi di Sidoarjo.
Menurut dosen Unusida (Universitas NU Sidoarjo) ini, kita harus meninggalkan jejak sejarah sebagai penulis agar anak cucu kita mengetahui bahwa para seniman dan budayawan adalah orang-orang yang berjasa untuk menghidupi seni budaya di Sidoarjo. Tidak bisa tidak, harus ada jejak literasinya.
Tirto memang dikenal memiliki konsen mengembangkan budaya sejak 30 (tiga puluh) tahun yang lalu. Sebagai wujud komitmen tersebut lantas Tirto menunjukkan sebuah bukunya yang terbaru, yaitu antologi artikel yang berjudul “Sense of Culture.” Salah satu dari 20 buku yang pernah diterbitkannya itu kemudian dihadiahkan kepada Komunitas Seni Budaya BrangWetan.
Sebagai timbal balik, kemudian BrangWetan memberikan hadiah buku kepada Tirto yaitu “Jelajah Budaya Lintas Agama” dan “Memahami Budaya Panji” yang ditulis oleh Henri Nurcahyo. Paket buku yang sama juga dihadiahkan kepada para pengisi acara.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan, Henri Nurcahyo, mengajak para seniman untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan. Apa yang selama hampir satu tahun melanda umat manusia di dunia ini menjadi pelajaran penting agar kita mau berubah. Wabah Corona adalah “ada tetapi tidak ada, tidak ada tapi juga ada.” Corona itulah yang memaksa umat manusia untuk berubah dalam banyak hal, termasuk dalam aktivitas berkesenian.
Ditambahkan, bahwasanya zaman terus berubah dan berlangsung sangat cepat. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Kita tinggal memilih, apakah kita akan berubah, diubah ataukah menciptakan perubahan. Gunakan kekuatan akan pikiran kita untuk menciptakan perubahan.
Dalam memandang kesenian misalnya, ubahlah cara pandang kita bahwa kesenian hanyalah aktivitas yang menghabiskan dana. Pemahaman terhadap seni budaya tidaklah sesempit melukis, menyanyi, menari, berteater dan sebagainya. Tetapi bagaimana mengolah lahan menjadi produktif juga bagian dari seni budaya.
Acara di Kampung Seni Pondok Mutiara ini meski hanya dihadiri sekitar 20 orang namun berlangsung efektif dan berisi. Selain Dr. Tirto, hadir pula Plt. Sekdis Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo, Bambang, juga pegiat budaya Hartono Aje. Sedangkan Dr. Tjuk Sukiadi, yang sebetulnya sudah hadir paling awal terpaksa harus meninggalkan acara lantaran ada acara keluarga yang mendadak.
Sementara Mbah Warno dan budayawan S. Karno menyemarakkan acara dengan membaca Geguritan, sajian musik dari Frida Erli dan Grace Rosalina. Setelah acara formal selesai, kemudian masih dilanjutkan dengan melukis on the spot yang dilakukan oleh Luthfi. (gas)
No comments:
Post a Comment