Ki Hajar Dewantara
SURABAYA (DutaJatim.com) - Hari ini 2 Mei 2021 bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional alias Hardiknas. Sejumlah hal perlu kita renungkan kembali untuk diambil hikmahnya agar bangsa ini semakin maju dunia pendidikannya.
Maju dalam arti, pendidikan yang didesain untuk anak-anak kita memang menghasilkan SDM yang unggul, berkarakter, dan berakhlakul Karimah. Bukan hanya pintar dan cerdas, tapi juga berbudi luhur serta saleh. (Maaf, klise amat emang tapi harus begitu hehe..)
Peringatan Hardiknas kali ini sempat diawali dengan sejumlah masalah. Mulai isu terkait Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang diduga menghilangkan Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Isu ini bikin gaduh secara nasional hingga akhirnya Mendikbud (sekarang Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim meluruskannya dan bahkan sowan ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Nadiem juga merevisi PP 57.
Nadiem mengunjungi Megawati ini sempat disindir dengan istilah "sowan membawa berkah". Maklum, pembuat istilah menilai Nadiem lolos dari reshuffle diduga karena politik sowan tersebut.
Selanjutnya geger kamus sejarah perjuangan bangsa Indonesia tanpa menyebut peran pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyeik KH Hasyim Asy'ari. Tentu saja warga NU protes. Bahkan semua orang protes dengan adanya upaya yang mereka sebut sebagai pengaburan sejarah itu.
Bukan hanya KH Hasyim Asy’ari, tapi Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus dur) tidak masuk dalam entri Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan Kamus Sejarah Indonesia Jilid II yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2017 itu.
Kedua kegaduhan yang seharusnya tidak perlu itu terjadi menjelang Presiden Jokowi melakukan reshuffle Kabinet Indonesia Maju pasca disetujuinya merger antara Kemendikbud dan Kemenristek. Selain itu Jokowi ingin meningkatkan BKPM menjadi Kementerian Investasi. Dua kementerian itu toh tetap dipimpin orang lama yakni Mendikbud Ristek Nadiem Makarim dan Menteri Investasi dijabat Bahlil Lahadalia yang sebelumnya jadi kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal).
Artinya kehebohan kemarin itu mubazir. Sebab tak ada reshuffle dalam arti sesungguhnya seperti yang diangankan publik secara politik. Yang ada hanya peningkatan badan/lembaga menjadi kementerian sehingga kepala badan naik status jadi menteri. Kedua, penggabungan dua kementerian dengan tujuan efektivitas dan efisiensi, dengan menteri yang sama.
Artinya, isu pendidikan menjadi perhatian publik karena terkait politik. Khususnya politik kekuasaan. Mulai soal jabatan menteri hingga politik ideologi yang dilakukan seseorang untuk menyusupkan ideologinya ke dalam kurikulum pendidikan.
Hilangnya Pancasila misalnya disebut dilakukan oleh oknum yang ingin memasukkan ideologi kiri atau kanan. Bahkan sempat ada kesan mengadu domba ketika nama KH Hasyim Asy'ari yang tokoh pendiri NU tak disebut dalam kamus sejarah bangsa Indonesia.
Pernyataan seorang pejabat itu menyebut Kamus ini disusun bukan di era Nadiem, tapi pada tahun 2017 saat Mendikbud dijabat Muhadjir Effendy yang merupakan tokoh Muhammadiyah. Ada juga isu mengapa nama Gus Dur tidak dimasukkan dalam kamus sementara nama Abu Bakar Baasyir dicantumkan? Isu memang bisa merusak.
Padahal NU dan Muhammadiyah sekarang semakin mesra dan saling mendukung untuk membangun bangsa dan negara sehingga pernyataan itu sangat mungkin dicurigai mengadu domba dua ormas Islam tersebut. Dalam kaitan ini sekali lagi masalahnya masih diwarnai politik sebagai panglima.
Mengutip Ki Hajar Dewantara, "Jadikan setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah seorang guru" patut kita renungkan untuk menambah satu lagi guru dan tempat belajar kita. Yakni pengalaman sejarah. Serangkaian peristiwa dalam dunia pendidikan perlu dicermati sehingga kita bisa lebih meningkat lagi dalam menata dunia pendidikan kita. Isu yang digarap pun berkembang tidak hanya itu ke itu saja.
Salah satunya bahwa seringkali masalah politik mengintervensi dunia pendidikan sehingga pendidikan merdeka yang diimpikan sepertinya nonsens. Merdeka belajar juga sama. Kampus merdeka bisa jadi terpasung oleh kepentingan atau ideologi penggagasnya.
Ki Hajar Dewantara mengajarkan kepada kita "Jadikan setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah seorang guru", itu sudah roh awal yang murni dari konsep merdeka belajar. Pemerintah seharusnya membuat kurikulum berdasarkan kondisi mereka yang belajar itu. Bukan untuk kepentingan pemerintah apalagi pejabatnya.
Tugas pemerintah memberi fasilitas untuk mereka agar bisa menyerap secara maksimal pelajaran yang diyakini akan meningkatkan taraf hidup mereka. Bukan malah membatasi demi kepentingan politik pejabatnya.
Setiap peserta didik, anak anak kita, para mahasiswa, seharusnya enjoy belajar apa saja di mana saja, dan dengan guru siapa saja. Dan itu termasuk belajar agama, yang sempat jadi kegaduhan karena isu hilangnya frasa agama dalam draf Peta Jalan Pendidikan. Sudah tidak zamannya lagi membenturkan pendidikan agama, atau sejarah, Pancasila, atau bahasa, bahkan bahasa Jawa (daerah), dengan pendidikan sains dan teknologi. Sebab masing masing ada tempatnya dan manfaatnya sendiri bagi anak-anak kita dalam menjalani kehidupannya.
Mengutip Merry Riana, "Mari kita jadikan Hari Pendidikan Nasional ini lebih bermakna dan menjadi momentum untuk mengoreksi diri, agar bisa berkreasi dan berinovasi demi peningkatan pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi". Kini, tidak ada peta jalan lain kecuali berawal dari kejujuran, kebenaran, dan keadilan untuk dunia pendidikan kita. Semoga. (*)
No comments:
Post a Comment