Oleh Imam Shamsi Ali*
MANUSIA dalam menjalani hidupnya di dunia tentu bukan tanpa tujuan. Kehadirannya di atas dunia ini untuk sebuah tujuan mulia, yang diterjemahkan dalam segala lini hidupnya. Segala ritual maupun aktifitas hidup lainnya, termasuk membangun dunia ini, bukan tujuan sebenarnya.
Lalu apa tujuan hidup manusia itu? Jawabannya ada pada jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana namun mendasar: Kenapa dan untuk apa saya hidup?
Al-Quran sesungguhnya telah memberikan jawaban pamungkas dari pertanyaan itu dalam beberapa ayat, di antaranya:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Dzariyat: 56)
“Dan tidaklah diperintahkan kepada mereka kecuali untuk menyembah Allah, ikhlas untukNya dalam agama” (al-Bayyinah: 5)
“Sesungguhnya Sholatku, pengorbananku, hidupku dan matiku untuk Allah Tuhan semesta alam” (al-A’am: 164).
Semua ayat-ayat Al-Quran di atas menggambarkan tujuan atau visi hidup manusia. Visi atau tujuan hidup inilah yang sesungguhnya dikenal dengan bahasa agama “niat”. Suatu hal yang menjadi dasar nilai (value) dari segala aktifitas hidup manusia itu.
Hadits menggambarkan bahwa “semua amalan itu berdasarkan kepada niatnya”. Artinya makna atau nilai sebuah amalan, bahkan warna hidup itu sendiri ditentukan oleh niatnya (tujuan/motivasi).
Sayangnya dalam perjalanan dan perputaran hidupnya manusia pada umumnya menjadi lupa akan hal yang sangat mendasar ini. Dalam menjalani hidupnya manusia kehilangan tujuan (arah) hidup. Mereka menjalani hidup tanpa menyadari untuk apa dan kemana dalam perjalanan hidup itu.
Kehidupan yang tidak memiliki tujuan atau arah yang jelas itulah yang pada akhirnya tidak membawa kemana-mana. Hidup yang bagaikan putaran rutinitas yang membosankan dan melelahkan. Sehingga manusia yang tidak memiliki arah hidup yang jelas itu akan merasa bosan pada hidupnya. Karena dunai seluruhnya memang membosankan pada akhirnya.
Puasa dan Transformasi Visi Hidup
Di sìnilah puasa hadir membawa transformasi visi hidup. Dengan puasa manusia disadarkan kembali bahwa hidup ini bukan sekedar perputaran waktu yang terasa hampa. Bukan juga sekedar mengejar dunia dengan mengakumulasi harta yang berlipat ganda.
Hidup manusia justeru bertujuan untuk sesuatu yang lebih mulia dan bermakna. Bahwa manusia dihadirkan di atas bumi ini untuk memastikan dua bentuk “layanan” yang saling terkait. Layanan vertikal dan layanan horizontal. Keduanya merupakan bentuk pengabdian kepada Allah SWT.
Manusia dihadirkan di atas dunia ini untuk tujuan tunggal. Yaitu melakukan pengabdian kepada Pencipta langit dan bumi (li ‘ibadatillah). Baik secara vertikal melalui ragam aktifitas ritual keagamaan. Maupun secara horizontal sebagai bentuk implementasi tugas kekhilafahannya.
Hiruk pikuk dan ganasnya godaan dunia menjadikan manusia lupa akan visi atau tujuan hidup itu. Dan karenanya puasa dengan simbolisasi “abstaining” atau menahan diri dari dunia (makan, minum dan hubungan suami isteri) kembali mengingatkan manusia tentang visi hidup itu.
Saya menyimpulkan visi hidup manusia dalam Islam dengan istilah “akhirat oriented life” (hidup yang berorientasi ukhrawi). Dengan kata lain, hidup dunia kita bukan untuk dunia. Tapi dunia untuk akhirat.
Maka transformasi visi hidup yang kita maksud melalui puasa adalah transformasi “dari dunia untuk dunia” menjadi “dunia untuk akhirat”.
Pemahaman hidup seperti ini menjadikan manusia sadar untuk Membangun dunianya di satu sisi. Namun dunia yang terbangun itu menjadi jembatan untuk kehidupan ukhrawi yang membahagiakan pada sisi lain.
Visi seperti itulah yang tersimpulkan dalam doa sapu jagad kita: “Rabbana atina fid dunia hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa adzaban naar”.
Semoga puasa kita diterima dan berhasil meluruskan kembali visi atau tujuan hidup kita. Amin! (Bersambung...).
Subway NYC, 20 Mei 2021
* Presiden Nusantara Foundation
No comments:
Post a Comment