Oleh Imam Shamsi Ali*
SALAH satu dilema Umat dalam beragama adalah kekeliruan dalam memandang agama itu sendiri. Pandangan agama yang terbatas (limited) bahkan parsial (partial) menjadikan karakter beragama juga menjadi terbatas dan parsial.
Akibatnya kerap nampak dalam kehidupan Umat terjadi tendensi “broken personality” atau personalitas yang cenderung terbelah. Umat menjadi sangat religious dan taat pada waktu atau tempat tertentu. Tapi pada tempat dan waktu lain menjadi manusia yang berbeda.
Karakter beragama seperti ini diakibatkan oleh wawasan beragama yang pastinya terbatas. Dibatasi oleh keterbatasan ruang dan masa. Parsial atau berislam secara sebagian-sebagian (tab’iidh). Seperti yang digambarkan oleh Al-Quran: “apakah kamu mengimani sebagian dari Al-Kitab (Al-Quran) dan mengkafiri sebagiannya?”.
Kegagalan Umat dalam menampilkan Islam, khususnya di dalam kehidupan sosialnya, salah satunya disebabkan oleh cara pandang beragama yang keliru. Islam dipandang sebagai sekedar agama. Dalam artian Islam hanya kumpulan amalan ritual yang diamalkan pada waktu dan tempat tertentu.
Cara pandang beragama seperti ini berimbas pada banyak konsekwensi buruk dalam kehidupan, bahkan pada agama itu sendiri. Berdampak buruk pada kehidupan karena manusia akan menjadikan cara beragama seperti ini sebagai jaminan. Dengan sholat, puasa, dzikir, qiyaamullael, dan seterusnya, seolah itu jaminan keselamatan.
Padahal berislam dengan cara demikian terancam dengan kebangkrutan di akhirat kelak. Hadits Rasulullah SAW mengancam pelaku ritual yang tidak memiliki dampak sosial akan mengalami kebangkrutan di hari akhirat nanti (baca hadits al-muflis atau hadits orang yang bangkrut).
Dampak negatifnya pada Islam adalah nampak seolah agama ini tidak memiliki dampak positif dalam hidup. Agama bahkan oleh sebagian, yang memang bodoh dan punya i’tikad buruk, akan dituduh sebagai sekedar beban hidup yang tiada manfaat. Bahkan lebih jahat lagi, ketika perilaku sosial Umat yang buruk itu ditimpakan pada Islam. Seolah Islamlah yang mengajarkan atau menginspirasi untuk melakukan berbagai kejahatan sosial itu.
Momentum Ramadan seharusnya mengajarkan Umat ini untuk membenahi kembali wawasan beragamanya. Belajar secara sungguh-sungguh untuk sadar bahwa agama itu adalah kehidupan. Dengan agamalah kehidupan menjadi hidup dan bermakna. Tanpa agama kehidupan mengalami mati suri dan tiada nilai.
Di Surah Al-Anfal Allah SWT menegaskan: “wahai orang-orang yang beriman, penuhilah ketika Allah dan RasulNya memanggilmu kepada kehidupanmu”.
“Limaa yuhyiikum” (yang menghidupkanmu) pada ayat ini menurut para Ulama kita adalah iman dan Islam itu sendiri.
Wawasan keislaman yang benar adalah yang memahami bahwa agama itu mencakup seluruh sisi kehidupan manusia, di setiap ruang (tempat dan waktu). Sehingga setiap pergerakan nadi kehidupannya termaknai secara Islam. Sehingga dengan sendirinya hidupnya secara totalitàs bernilai ibadah.
Wawasan keislaman yang benar itu sekaligus menegaskan bahwa Islam bukan agama yang dihadirkan untuk sekedar mengajarkan kematian. Justeru sebaliknya Islam hadir untuk nengajarkan bagaimana hidup yang sesungguhnya (benar dan bertanggung jawab).
Jika seseorang telah hidup secara benar dan bertanggung jawab, atau dengan ekspresi lain hidup secara Islam (di jalan Allah) maka bagaimanapun bentuk akhir hidupnya (kematiannya) dapat dikategorikan “mati di jalan Allah”.
Itulah yang diingatkan oleh Al-Quran: “dan janganlah kamu meninggal kecuali dalam keadaan Muslim” (Al-Imran).
Mati dalam keadaan berislam itulah yang biasa diekspresikan dengan “mati di jalan Allah” yang tentunya tidak harus dalam medang peperangan. Ketika seorang hidup dengan Islam di setiap pergerakan hidupnya maka dia akhirnya akan mati di jalan Allah.
Untuk itu fokus seorang Muslim dalam konteks beragamanya, bukan pada mati. Tapi pada bagaimana dia menjalani hidupnya. Karena perjalanan hidup itulah pada akhirnya akan menjadi warna kematiannya.
Dan karenanya pemahaman agama yang instant, termasuk mati di jalan Allah secara instant, harus diubah. Ada jalan menuju kepada cita-cita tertinggi kita (asmaa amaaniina) itu. Dan jalan itu adalah hidup dengan Islam setiap saat, Kapan dan di mana saja.
Di bulan Ramadan inilah harusnya kita kembali menata Wawasan (cara pandang) beragama kita. Sehingga dalam menjalaninya tidak terjadi cara beragama yang sempit (terbatas) dan parsial.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama ini secara sempurna. Dan jangan ikut kepada langkah-langkah syetan”.
Demikian Al-Quran menegaskan! (*)
Subway NYC, 26 Mei 2021
* Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat.
No comments:
Post a Comment