Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono termasuk yang tak lolos seleksi tes wawasan kebangsaan. |
JAKARTA (DutaJatim.com) - Bangsa lain sudah mengurusi bagaimana caranya hijrah ke planet lain, bagaimana menjadi bangsa yang semakin maju di bidang ilmu pengetahuan teknologi, tapi bangsa Indonesia ternyata masih saja sibuk berdebat soal jilbab. Sungguh bangsa yang aneh. Karena itu negara ini dinilai selalu tertinggal dengan negara lain mengingat yang diurusi hanya itu itu saja.
Polemik jilbab sudah terjadi sejak zaman Orde Baru tapi hingga sekarang masih saja belum selesai. Yang aneh bin ajaib pemicunya dari lembaga negara sendiri. Kali ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut sebagai sumber polemik
ketika mengajukan pertanyaan 'bersedia lepas jilbab' yang ditanyakan ke pegawai perempuan KPK saat tes alih status ke ASN (aparatur sipil negara). Publik pun geger. "Kok sampai segitunya ya?" kata Munawiroh, guru di sebuah sekolah di Surabaya Sabtu 8 Mei 2021.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono mengaku menjadi salah satu dari 75 pegawai yang tidak menenuhi syarat atau TMS dari asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK). Diketahui asesmen ini dibuat KPK sebagai syarat alih fungsi status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Giri membenarkan ada sejumlah pertanyaan aneh yang menurut dia bertolak belakang dari hal wawasan kebangsaan. Seperti permintaan mencopot hijab bagi pegawai perempuan atas nama bangsa, perceraian pegawai, lama menjomblo tidak menikah, dan pertanyaan lain yang tidak mengenai wawasan kebangsaan.
Bahkan bukan saja aneh, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai pertanyaan 'bersedia lepas jilbab' yang ditanyakan ke pegawai perempuan KPK saat tes alih status ke ASN itu melanggar HAM. Pukat UGM juga menilai tak ada kaitan memakai atau melepas jilbab dengan kerja memberantas korupsi.
"Menggunakan jilbab atau tidak itu merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi, yang tidak dapat dipaksakan oleh siapapun termasuk institusi tempat bekerja. Jadi, menurut saya pertanyaan mengenai bersediakah lepas jilbab atau tidak telah melanggar prinsip dasar yang dijamin dalam konstitusi, yaitu hak beragama," kata Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, Sabtu (8/5/2021), seperti dikutip dari detik.com.
Dia menilai pertanyaan tersebut tak layak dan mencerminkan sempitnya wawasan kebangsaan pembuat soal tes ASN untuk pegawai KPK tersebut. Dia menilai pertanyaan itu juga bentuk diskriminasi negara kepada warganya.
"Itu satu pertanyaan yang sangat tidak layak ditanyakan dan justru pertanyaan itu sendiri telah mencerminkan sempitnya wawasan kebangsaan si pembuat soal. Jika tes wawasan kebangsaan dengan pertanyaan bersedia lepas jilbab atau tidak menjadi dasar memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat alih status dari pegawai KPK jadi ASN itu telah terjadi diskriminasi dalam pekerjaan oleh negara berdasarkan pandangan keagamaan seseorang," katanya.
Zaenur juga menilai pertanyaan itu sangat tidak berhubungan dengan tugas dan fungsi pegawai KPK. Dia menyebut tak ada hubungan profesionalitas seseorang dengan pakaian yang digunakan.
"Pertanyaan lepas jilbab atau tidak sangat tidak berkorelasi dengan tugas dan fungsi pegawai KPK," ujarnya.
Dia kemudian mengungkit ada pihak yang mau mengaitkan pertanyaan bersedia melepas jilbab itu dengan tugas penyamaran yang harus dilakukan pegawai KPK. Menurutnya, hal tersebut juga tidak tepat.
"Ada narasi yang disampaikan beberapa pihak, jangan-jangan maksudnya itu ketika melakukan penyamaran. Bukan. Pertanyaan ini bukan bagaimana teknis melakukan penyelidikan atau penyidikan perkara. Teknik seperti menyamar itu sudah tak perlu diajarkan lagi oleh orang lain. Di KPK itu sudah diajarkan sejak awal ketika para pegawai KPK akan ditempatkan dalam posnya masing-masing," tuturnya.
Zaenur mengatakan pertanyaan itu bukan ditujukan terkait tugas penyamaran oleh pegawai KPK. Menurutnya, pertanyaan itu ditujukan untuk membenturkan pandangan keagamaan pribadi dengan kebhinnekaan dan tugas institusi.
"Dalam konteks itu tentu tidak lagi ditanyakan apakah seorang pegawai KPK itu bersedia berkorban atau tidak, apakah sesuai dengan keyakinannya atau tidak. Pegawai KPK itu dibekali kemampuan mengumpulkan informasi seperti penyamaran. Jadi konteks pertanyaan bersedia lepas jilbab itu bukan terkait penyamaran. Ini adalah upaya membenturkan pandangan keagamaan, pandangan pribadi dengan seakan-akan dibenturkan dengan kebhinnekaan dan tugas institusi. Dan itu sangat tidak bertanggung jawab," katanya.
Sebelumnya, ada pertanyaan tak relevan untuk peserta tes, yakni urusan jilbab. Tes wawasan kebangsaan ini sendiri dilatarbelakangi Ketua KPK Firli Bahuri yang meneken Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai Menjadi ASN.
Pada 18 Maret hingga 9 April kemarin, sebanyak 1.351 pegawai KPK (dikurangi 2 orang tak ikut) kemudian menjalani tes wawasan kebangsaan itu demi menjadi ASN. Ada 75 orang yang dinyatakan tak memenuhi syarat usai tes dilaksanakan.
Pegawai perempuan KPK yang menjadi sumber informasi detikcom menyampaikan dirinya ditanyai perihal jilbab. Bila enggan melepas jilbab, pegawai perempuan itu dianggap lebih mementingkan diri sendiri.
"Aku ditanya bersedia nggak lepas jilbab. Pas jawab nggak bersedia, dibilang berarti lebih mementingkan pribadi daripada bangsa negara," ucap pegawai KPK itu, Jumat (7/5/2021).
Pegawai perempuan KPK lainnya mengaku ditanya urusan pribadi. Dia pun heran dengan ragam pertanyaan itu.
'
"Ditanya kenapa belum punya anak," ucap pegawai KPK perempuan itu.
"Ditanya kenapa cerai," imbuh pegawai lainnya.
KPK menegaskan pihaknya tidak terlibat dalam penyusunan pertanyaan. Menurut KPK, pertanyaan dalam asesmen itu disusun oleh BKN bersama sejumlah instansi lain.
"Komisi Pemberantasan Korupsi bukan merupakan penyelenggara asesmen. Seperti dijelaskan sebelumnya, asesmen tes wawasan kebangsaan ini diselenggarakan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN)," ucap Plt Jubir KPK, Ali Fikri, kepada wartawan, Sabtu (8/5/2021). (det/l6)
No comments:
Post a Comment