Oleh Imam Shamsi Ali*
BEBERAPA hari lalu satu keluarga Muslim Kanada keturunan Pakistan dibunuh oleh seorang terrorist White Supremacy di Toronto Kanada. Salman Afzal dan isterinya beserta dua putrinya meninggal seketika di tempat peristiwa. Yang selamat hanya putra bungsunya yang berumur 9 tahun.
Didorong oleh semangat ukhuwah dan semangat memerangi kebencian (fighting the hate) dan rasisme di Amerika Utara dan dunia Barat secara umum, hari ini 13 Juni 2021, kami mengadakan Konferensi Pers mengutuk kekerasan yang terjadi kepada Komunitas Muslim. Acara yang hadiri oleh banyak pejabat kota, termasuk calon Walikota New York terkuat Eric Adam, serta tokoh agama/Komunitas itu berlangsung di halaman gedung Jamaica Muslim Center New York.
Kehadiran saya tentunya selain sebagai pembicara utama, juga sebagai tuan rumah (host). Maka wajar jika saya diminta menjadi pembicara pertama pada acara yang juga diliput oleh hampir seluruh media mainstream New York dan Amerika.
Dalam presentasi singkat, seperti yang sering saya sampaikan di mana-mana, saya kembali mengingatkan bahwa memerangi Islamophobia bukan sekedar isu Komunitas Muslim. Tapi isu kemanusiaan dan nilai Amerika (American value) yang sedang terusik. Dan karenanya anda tidak harus menjadi Muslim untuk memerangi Islamophobia. Anda hanya perlu jujur, baik sebagai orang Amerika dan sebagai manusia.
Saya kembali menyampaikan bahwa kekhawatiran saya dengan kekerasan-kekerasan dan kebencian akhir-akhir ini tidak saja mengenai Komunitas Muslim. Tapi saya justeru khawatir jangan sampai wajah perjalanan bangsa ini (Amerika), dengan segala capaian yang membanggakan, justeru ditatat oleh sejarah sebagai bangsa pembenci dan rasis.
Dulu pernah kebencian itu ditujukan kepada Komunitas Katolik, lalu Komunitas Yahudi, lalu Jepang, Keturunan Irlandia bahkan Italia. Di kemudian hari Komunitas hitam (Afrika) yang jadi korban dan masih berlanjut hingga saat ini. Lalu kebencian dan kekerasan kepada Komunitas Muslim (Islamophobia).
Dan karenanya saya khawatir jangan-jangan rasisme dan kebencian ini justeru akan menjadi “trademark” (merek atau ciri khas) permanen bangsa ini. Tentu harapan saya semoga tidak demikian. Sebab Amerika yang kita kenal harusnya lebih baik dari apa yang kita saksikan akhir-akhir ini.
Saya juga menekankan bahwa Amerika itu menjadi Amerika bukan karena kekuatan militernya (its military might). Bukan pula karena kekuatan ekonominya. Tapi Karena nilai-nilai agung yang selalu dipertahankannya. Satu di antaranya adalah “compassion” (kasih sayang) Amerika untuk merangkul mereka yang dianggap orang lain (the others) untuk menjadi bagian dari “kita” (we the people).
Inilah yang disimbolkan oleh Lady Liberty di kota New York. Merangkul imigran dengan kasih sayang seraya memberikan kebebasan kepada mereka.
Untuk warga New York, kota ini menjadi kota terkuat dunia bukan karena Wall Street atau gedung-gedung pencakar langitnya. Tapi karena jembatan-jembatan (bridges) yang tidak saja menghubungkan antara bagian kota. Tapi yang terpenting juga menghubungkan di antara penduduk atau manusiannya (connecting the people). Maka mari kita terus bangun dan perkuat jembatan itu. Hancurkan dinding-dinding (walls) yang memisahkan kita semua.
Saya ingatkan kembali bahwa ketidak adilan kepada seseorang itu adalah ketidak adilan kepada semua. Dan Karenanya jangan merasa aman jika keburukan terjadi pada orang lain.
“My fight today can be yours tomorrow” (perjuangan saya hari ini boleh jadi perjuanganmu di esok hari). Karenanya teruslah bangun kesatuan dan kerjasama melawan kebencian dan kekerasan kepada siapa saja.
Seperti yang sering kita sampaikan bahwa “enough for evil to thrive when the good people do or say nothing” (kejahatan hanya akan berkembang ketika orang-orang baik diam dan tidak melakukan apa-apa). Maka mari terus suarakan resistensi kita kepada setiap kebencian dan kekerasan di negara ini.
Ingat, “silence in front of an evil is complicit”. Bahwa diamnya kita di hadapan kejahatan itu boleh jadi justeru bagian dari kejahatan itu sendiri.
Dan pastinya kebencian dan kekerasan itu sangat tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Amerika. “It is un-American”.
Saya menutup orasi saya dengan mengingatkan bahwa saat ini warga New York kembali berada dalam pesta Demokrasi. Kita sedang dalam musim politik Pilkada untuk memilih pemegang posisi publik di kota ini, termasuk Walikota. Saya ingin pastikan bahwa kandidat yang dipilih adalah kandidat yang punya nurani.
Yaitu kandidat yang tidak selalu melihat permasalahan masyarakat hanya dengan “instink atau rasa politik. Kita menginginkan pemimpin yang mampu mengedepankan rasa kemanusiaan yang universal (common human sense) di atas kepentingan politiknya. Insya Allah! (*)
New York, 13 Juni 2021
No comments:
Post a Comment