Oleh Imam Shamsi Ali*
SALAH satu tugas saya sebagai Imam di kota New York adalah sebagai “registrar officiant”. Semacam penghulu yang terdaftar di negara bagian New York dan memiliki license (izin menikahkan).
Dalam berbagai kesempatan menikahkan pasangan Muslim, saya selalu menyampaikan pesan-pesan kepada kedua mampelai. Pesan-pesan ini yang dikenal dalam sunnah sebagai khutbah nikah atau nasehat perkawinan dalam bahasa yang kita lebih kenal.
Pesan-pesan saya sederhana dan mudah dipahami. Selain mengingatkan kembali jika pernikahan adalah ibadah, sekaligus institusi tertua dalam hidup manusia. Juga mengingatkan jika pernikahan merupakan jalan menuju ketenteraman (sakinah) dalam hidup manusia dunia-akhirat.
Pernikahan juga menjadi “sunnatullah” atau “hukum universal” (alam) untuk menjaga kelestarian generasi manusia. Dan ini menjadi ketetapan Ilahi sejak ditakdirkannya Adam dan Hawa sebagai pasangan suami-isteri pertama.
Karenanya perlu dipahami jika pernikahan menjadi langkah awal manusia membangun hidup masa kini dan masa depan. Untuk memastikan kesuksesan pernikahan tentu tidak mudah. Diperlukan usaha keras dan kesungguhan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya membangun keluarga yang solid dan sukses, antara lain:
Satu, pentingnya meluruskan niat dalam menikah dan membangun rumah tangga. Dalam bahasa umumnya, visi (niat) dalam pernikahan atau dalam membangun rumah tangga itulah yang akan mewarnai langkah selanjutnya dalam kehidupan pasangan suami isteri, bahkan generasi manusia.
Tentu niat yang kita maksud adalah bahwa pernikahan itu bukan sekedar aktifitas sosial. Tapi lebih mulia sebagai bagian dari upaya mencari ridho Allah SWT. Di sinilah sesungguhnya makna menikah sebagai ibadah dalam Islam.
Dua, ilmu menjadi prasyarat keberhasilan segala hal dalam kehidupan. Termasuk dalam pernikahan itu sendiri. Ilmu tentang manajemen keluarga, bahkan ilmu tentang pasangan itu sendiri. Biasanya saya menekankan urgensi untuk belajar tentang pasangan. Agar terjadi penyesuaian-penyesuaian dalam banyak hal.
Tiga, pernikahan harus terbangun di atas cinta dan kasih. Cinta sesungguhnya menjadi energi utama dalam menjaga hubungan suami-isteri. Untuk itu cinta harus disyukuri sebagai karunia Ilahi. Kesyukuran dalam arti menjaga dan menguatkan. Semakin lama pernikahan seharusnya cinta pasangan semakin kuat.
Empat, salah satu nilai dan karakter mulia manusia adalah “tawadhu” (humbleness). Dan ketawadhuan itu harus bermula dari rumah tangga. Suami-isteri harus menyadari Urgensi ketawadhuan. Tawadhu’ dalam rumah tangga adalah pentingnya menyadari kekurangan masing-masing pihak di satu sisi. Dan di sisi lain masing-masing pihak merasa ada sesuatu kelebihan untuk disumbangkan dalam kehidupan bersama. Di sinilah salah satu makna jika laki dan wanita itu adalah “libaas” (pakaian). Artinya saling menyempurnakan.
Lima, bahwa pernikahan yang sukses tidak saja dimaksudkan kesuksesan duniawi. Tapi kesuksesan duniawi menuju kebahagian ukhrawi. Dan karenanya pernikahan yang sukses adalah pernikahan yang berorientasi ukhrawi (akhirah oriented). Kesadaran ini akan berdampak kepada bentuk keluarga yang terbangun, termasuk dalam pendidikan generasi.
Enam, tidak ada cara lain yang efektif untuk menjaga hubungan suami-isteri (keluarga) lebih dari ketakwaan. Ketakwaan dalam arti menghadirkan Allah dalam segala titik kehidupan keluarga. Dari kepercayaan suami isteri, pendidikan anak, hingga kepada bagaimana bentuk rezeki keluarga tersebut.
Tujuh, Urgensi menjaga akar kehidupan manusia. Ini yang saya tekankan dalam beberapa pernikahan hari-hari terakhir ini. Hal itu karena saya merasa bahwa ancaman terbesar warga Muslim minoritas di berbagai negara, khususnya warga Indonesia adalah hilangnya generasi (lost of generation).
Dalam beberapa kesempatan saya menekankan hal ini dengan ekspresi: “do not forget your root” (jangan lupa akarmu).
Minimal ada dua hal penting yang berkaitan dengan akar tersebut.
1. Agama (iman/Islam).
2. Budaya (karakter kearifan lokal).
Akar agama
Di antara sekian kekhawatiran kita di negara-negara minoritas Muslim seperti Amerika adalah melemahnya generasi dalam agama. Bahkan menyedihkan, realitanya ada orang tua yang taat agama. Tapi anak-anaknya telah lepas, seolah tidak lagi yakin dengan agama ini.
Untuk itu penekanan yang selalu saya sampaikan kepada pasangan yang menikah adalah jika suatu ketika dikaruniai anak-anak oleh Allah maka jadilah orang tua yang bertanggung jawab (responsible parents).
Tanggung jawab yang saya maksud terhadap generasi biasanya dalam tiga hal. Pertama, jadikanlah generasi kita generasi yang kuat secara fisik/material. Kedua, jadikanlah generasi kita tajam dalam intelektualitas. Ketiga, jadikanlah generasi kita sehat secara ruhiyah (spiritualitas).
Dalam dunia yang materialis kerap perhatian orang tua hanya pada dua aspek pertama. Semua ingin anaknya sehat, kuat dan berhasil secara material. Demikian pula orang tua ingin anak-anaknya pintar dan berhasil secara akademis. Tapi tidak banyak yang sadar jika aspek ruhiyah menjadi penentu kebahagiaan manusia.
Di sinilah pendidikan agama menjadi sangat menentukan keberhasilan keluarga dan masa depan generasi. Sehingga pendidikan agama anak-anak menjadi bagian dari tanggung jawab besar dan utama orang tua.
Akar budaya
Selain agama, tentu ada aspek budaya sebagai bagian dari akar kehidupan manusia. Sebagai orang Indonesia misalnya, budaya santun dan hormat kepada orang tua menjadi salah satu akar penting kehidupan.
Saya menekankan hal ini karena banyak di antara anak-anak kita yang kehilangan akar budaya dalam berkarakter, khususnya kepada orang tuanya. Kesantunan dan penghormatan kepada orang tua menjadi sesuatu yang nampak terlupakan.
Hal ini tidak boleh terjadi. Karena ada aspek-aspek budaya (kultur) kita sebagai bangsa (kaum/nation) yang tetap menjadi acuan moral dan akhlak mulia.
Salah satu hal yang masuk dalam kategori “remembering the root” dalam budaya adalah tetap menyadari “birrul walidain” (being dutiful, respectful dan kind) kepada kedua orang tua.
Jangan sampai ketika anak-anak telah berhasil dalam pendidikan dan profesi yang lebih baik lalu orang tua dilupakan, bahkan dicampakkan. Siapapun orang tua kita, dan bagaimana pun keberhasilan dan kesuksesan kita, tidak akan menggeser posisi “Ayah-Ibu” yang wajib dihormati dan dimuliakan.
Maka agama dan budaya lokal (kultur) yang baik menjadi akar kehidupan (root of life) yang harus dipertahankan. Atau yang selalu saya ekspresikan dalam setiap kesempatan menyampaikan nasehat pernikahan akhir-akhir ini: “keep your root!”.
Semoga Allah menjaga anak-anak kita. Amin! (*)
New York, 12 Juni 2021
* Presiden Nusantara Foundation
No comments:
Post a Comment