Ketua LPPNU Jatim Gufron Achmad Yani (kiri) bersama KH Marzuki Mustamar |
SURABAYA (DutaJatim.com) - Aksi masyarakat menolak Rencana Revisi UU No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan memasukkan pajak (PPN) bagi Sembako terus berlanjut. Setelah para pedagang, kini Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Jawa Timur juga menolak rencana pemerintah itu.
Ketua LPPNU Jatim Gufron Achmad Yani mengatakan rencana menerapkan pajak Sembako itu adalah Kekonyolan dan Prank bagi masyarakat miskin. Oleh karena itu PW LPPNU Jatim menolak dan akan bersikap keras serta akan menjadi garda terdepan perlawanan jika ini dilakukan oleh Pemerintah.
"Sejak jaman Republik Indonesia ini merdeka sampai hari ini Sembako adalah objek yang dikecualikan dalam PPN, tapi jaman Kolonial petani harus bayar namanya UPETI. Petani kita masih belum sejahtera dan masyarakat masih berdarah-darah menghadapi situasi pandemi covid19 secara ekonomi jadi Pemerintah jangan membabi buta dalam mencari uang dengan mengorbankan hajat hidup rakyatnya," kata Gus Gufron Achmad Yani kepada DutaJatim.com dan DutaIndonesia.com Jumat (11/6/2021).
Kebijakan pengenaan PPN sembako, kata dia, sangat aneh sebab dilakukan di saat orang kaya memperoleh relaksasi (keringanan bahkan bebas) pajak tapi masyarakat miskin petani dan pedagang sayur, justru dikenakan pajak.
"Petani dan peternak kita masih sering rugi kerena berbagai macam problem dalam produksinya serta masih sering tertindas oleh kebijakan ini malah mau diperas lagi. Ditaruh dimana hati nurani Pemerintah apa gak bisa cari pendapatan lain selain harus memeras wong cilik," katanya.
Pedagang Menolak
Seperti diberitakan DutaJatim.com dan DutaIndonesia.com, masyarakat harus bersiap menghadapi kenaikan harga, khususnya sembako, setelah nanti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) benar-benar akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan bahan pokok (sembako) di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.
Rencana itu tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, jenis barang kebutuhan pokok yang dimaksud adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan ubi-ubian.
Namun dalam draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP 11 bahan pokok itu termasuk yang akan dikenakan PPN sebesar 12 persen.
Saat dimintai tanggapannya, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Abdullah Mansuri, mengatakan, pedagang pasar menolak rencana pemerintah untuk menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan ini. Apalagi kebijakan tersebut digulirkan pada masa pandemi Covid-19 dan situasi perekonomian sekarang sedang sulit.
"Harga cabai bulan lalu hingga Rp 100 ribu, harga daging sapi belum stabil, mau dibebanin PPN lagi? Gila, kami kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Mau ditambah PPN lagi, gimana gak gulung tikar," katanya yang dihubungi Rabu (9/6/2021) seperti dikutip dari okezone.com.
Dia mencatat, lebih dari 50% omzet pedagang pasar menurun. Di samping itu pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan pada beberapa bulan belakangan ini. Karena itu dia memprotes keras rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut.
Sebagai organisasi penghimpun pedagang pasar di Indonesia, pihaknya akan melakukan upaya protes kepada Presiden Joko Widodo. "Ini agar kementerian terkait tidak melakukan upaya yang justru menyulitkan anggota kami (pedagang pasar)," tandasnya.
Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudistira, juga menilai senada. Kebijakan itu akan memberatkan masyarakat. Dia menilai perluasan objek PPN ke bahan pangan akan berisiko maraknya barang ilegal.
"Timbulnya risiko barang ilegal, tanpa tarif PPN yang sesuai. Sebagai perbandingan kasus kenaikan cukai rokok tahun 2020 mengakibatkan peredaran rokok ilegal naik. Apalagi sembako, sulit mengendalikan pengawasan pajaknya," kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Lalu, kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi, dan menurunkan daya beli masyarakat. Imbasnya bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun tapi juga naiknya angka kemiskinan. Sebanyak 73% kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. "Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah," katanya.
Dia menambahkan, pengawasan PPN pada bahan makanan relatif sulit dibanding barang retail lain. Selain itu biaya administrasi pemungutannya menjadi mahal karena sembako termasuk barang yang rantai pasokannya panjang serta berkaitan dengan sektor informal di pertanian.
"Lalu, kontraproduktif terhadap upaya untuk pemulihan ekonomi, karena kenaikan PPN dibarengi oleh rencana pencabutan subsidi lainnya (subsidi listrik, pengurangan bansos, dll)," tandasnya.
Kemenkeu Malah Anggap Tepat
Rencana pengenaan PPN sembako mendapat respons beragam dari masyarakat. Namun Kemenkeu berdalih bahwa kebijakan tersebut dinilai tepat untuk dilakukan di tengah pandemi virus Corona.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Praswoto Yustinus, mengatakan, pajak merupakan pilar penyangga eksistensi negara. Oleh karena itu, di tengah pandemi saat ini menjadi kesempatan untuk menyesuaikan kembali pengenaan pajak.
"Ini perlu disiapkan dan didiskusikan di saat pandemi, justru karena kita bersiap. Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting," tulisnya di akun Twitternya, Rabu (9/6/2021).
Kebijakan pengenaan PPN juga akan lebih dulu didiskusikan bersama wakil rakyat. Pemangku kepentingan terkait turut dilibatkan supaya pembiayaan di tengah pandemi tidak melulu mengandalkan utang.
"Pemerintah mengajak para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha dan DPR, untuk bersama-sama memikirkan. Jika saat pandemi kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca-pandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak," ujarnya.
Menurut Yustinus, banyak negara yang sudah menyesuaikan pajak saat ini. Amerika Serikat (AS) misalnya, Presiden Joe Biden berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 21% ke 28%. Inggris juga berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 19% menjadi 23%. "Banyak negara berpikir ini saat yang tepat untuk memikirkan optimalisasi pajak untuk sustainabilitas," katanya.
Meski demikian, Yustinus memaklumi kekhawatiran masyarakat terhadap rencana pengenaan PPN sembako. Namun masyarakat juga perlu tahu bahwa saat ini APBN sudah bekerja keras untuk menanggulangi Covid-19, sehingga membutuhkan penerimaan.
"Kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, enggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil!" tegasnya.
Rencana pengenaan PPN sembako pun tidak akan segera direalisasikan. Pemerintah juga masih merancang dan memikirkan penerapan sambil menunggu ekonomi pulih. "Pemerintah dan DPR memegang ini. Saat ini pun barang hasil pertanian dikenai PPN 1%. Beberapa barang atau jasa juga demikian skemanya agar ringan," ujarnya.
Berdasarkan berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang diperoleh wartawan Rabu 9 Juni 2021, ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok ini. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen.
Pemerintah menggarisbawahi, penerapan tarif PPN final menjadi alternatif untuk memudahkan pengusaha kecil dan menengah. Adapun, batasan omzet pengusaha kena pajak saat ini sebesar Rp4,8 miliar per tahun. Rencana pengenaan PPN terhadap bahan pokok adalah yang pertama kalinya dilakukan pemerintah.
Dalam Pasal 4A ayat 2 huruf b UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah telah menetapkan 11 bahan pokok yang tidak dikenakan PPN. Pasal 4A ini sempat menjadi polemik karena dianggap multitafsir yang dapat membuka peluang pengenaan PPN terhadap barang bahan pokok di luar 11 jenis barang yang disebutkan dalam penjelasan UU tersebut.
Atas dasar itu, pada 2016 perwakilan konsumen dan pedagang komoditas pangan pasar tradisional meminta Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi atas penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU No. 42/2009. MK kemudian mengabulkan permohonan dengan menegaskan bahwa penjelasan Pasal 4A ayat (2) UU No. 42/2009 bertentangan dengan UUD 1945. Alhasil, dalam putusan No.39/PUU-XIV/2016, MK menyatakan barang kebutuhan pokok adalah barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Dengan demikian, barang kebutuhan pokok tidak terbatas pada 11 jenis saja.
Bukan hanya itu, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara, juga akan dikenai PPN menurut draf RUU tersebut. Beberapa jenis jasa yang sekarang tidak dikenai PPN juga akan dikenai pajak melalui revisi RUU KUP, yakni jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan prangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, dan jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan.
Kemudian, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos. (gas/okz/ bc/det)
No comments:
Post a Comment