Oleh Ustad Nur Fakih
MASJID Jamik Gresik tempat yang tepat untuk melakukan ziarah ruhani. Letaknya di tengah Kota Gresik, ramai pedagang dan pengunjung alun-alun, melakukan salat Tarawih di dalamnya, jiwa ini secara perlahan terasa terbalut kabut rahmat yang melimpah.
Diimami KH Umar Thoha, murid kesayangan ulama terkemuka Sayyid Muhammd bin Alawy Al-Maliky, Makah al-Mukarromah, salat Tarawih menjadi hidup. Suara imam menggelegar, bacaan ayat-ayat al-Qur’an jelas, tegas dan menghentak-hentak lalu melandai panjang pada bacaan ayat terakhir surat al-Fatihah membuat jiwa raga ini ingin salat sepanjang nafas.
Pada saat imajinasi sudah terbang mencari Allah dalam salat, apa yang terjadi di sekitar semua dinihilisasi. Saf-saf jamaah yang renggang, seperti gigi bogang tidak terarur, bukan hal yang mengganggu perjalanan ruhani yang sedang berziarah ke haribaan Ilahi robbi. Salat menjadi seperti para auliya’ yang mengajarkan keikhlasan. Pasrah tanpa ada deal-deal untung rugi.
Masjid Jamik Gresik diikhlaskan para waliyullah untuk dibangun dan dihiasi dengan gaya dan interior Jawa Hindu. Syeikh Malik Ibrahim, Ki Ageng Pinatih dan Bupati Poesponegoro serta wali lainnya yang membangun masjid Jamik Gresik tidak memaksakan unsur-unsur Islam masuk mendominasi bangunan pusat tumbuh kembangnya peradaban ini.
Seni kaligrafi Arab hanya ditempatkan pada titik-titik tertentu, sehingga ciri khas Islam benar-benar dibungkus oleh peradaban yang berkembang di Jawa. Masjid menjadi simbol peradaban agung, karena sikap para waliyullah yang mempersembahkan bangunan suci ini bukan untuk umat Islam saja tetapi untuk manusia yang beradab.
Membumihanguskan semua tradisi dan lambang-lambang pra Islam menjadikan sejarah Islam tidak memiliki masa depan. Masjid Jamik Gresik dan juga masjid-masjid peninggalan walisongo lainnya, melestarikan kearifan lokal dengan sangat selektif.
Dakwah Islamiyah yang substantif tidak pada ranting dan cabang tetapi pada kekuatan tiang utama penyanggah bangunan agar tidak goyah oleh kekuatan-kekuatan baru yang memusyrikkan. Masjid adalah tempat suci untuk membersihkan diri dari segala salah dan dosa masa lalu, masa kini dan masa datang.
Usaha membersihkan diri tidak cukup sehari, seminggu, sebulan atau setahun. Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Assegaf yang jasadnya dimakamkan di samping Masjid Jamik Gresik, lebih dari 15 tahun berkhalwat dan beruzlah mengasingkan diri menjauhi sekecil-kecilnya dosa.
Setiap tahun, ribuan jamaah dari dalam dan luar negeri berdzikir mengagungkan asmaulhusna , bersolawat kepada Nabi SAW dan mendoakan Habib Abu Bakar Assegaf, Gresik yang wafat pada 1957 dalam usia 91 tahun. Ulama besar yang menjadi wali qutub ini sesungguhnya tidak mati, tetapi tetap hidup. Tinggal kita sadar atau tidak. (*)
No comments:
Post a Comment