Oleh Imam Shamsi Ali*
BERABAD-abad sebelum lahirnya Muhammad SAW, nabi dan rasul terakhir ke dunia ini, Barat (baca Yunani) dan Timur (baca Persia) telah banyak melahirkan filosof-filosof karya-karya besar pada masanya.
Keduanya bahkan merupakan bangsa adi daya (super power) yang sangat berkompetisi. Menang-kalah dalam peperangan di antara mereka silih berganti.
Dalam situasi itulah Rasulullah SAW diutus dengan ajaran yang universal, “laa syarqiyah wa laa ghorbiyah”. Bahwa ajarannya tidak terdefenisikan oleh batas geografis, Barat atau Timur. Dan yang lebih penting ajaran itu bukan hadir untuk meniru yang dianggap pada masanya.
Bahkan di atas dari semua itu dunia menilai peradaban identik dengan Peradaban Yunani (Greek Civilization) di Barat. Dan peradaban Persia (Persian Civilization) di Timur. Arab sendiri dianggap bangsa yang tiada peradaban.
Hebatnya Rasulullah pun hadir dengan peradaban pertama yang paling universal dan kokoh. Dan uniknya adalah dalam proses menghadirkan peradaban itu Rasulullah SAW tidak meniru-niru kreasi Barat (Yunani) ataupun Timur (Persia) yang dianggap hebat di zamannya.
Pelajaran terpenting dari cuplikan sejarah ini adalah bahwa tidak mungkin untuk Umat ini bangkit jika masih memiliki rasa minder (inferiority complex). Dan dalam proses kebangkitannya, Umat ini tidak pernah kuat dengan belas kasih orang lain, Barat maupun Timur.
Umar Ibnu Khattab pernah menegaskan: “Sungguh Allah telah memuliakan kita dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan tanpa Islam, Allah akan menghinakan kita kembali”.
Sebenarnya bukan berarti Umat ini tidak perlu belajar dari orang lain. Karena yakinlah kebenaran dan kebaikan itu sifatnya universal. Kebaikan yang ada pada orang lain adalah hikmah-hikmah yang bertebaran dari Sumber yang sama.
“Jangan sekali-kali ragu. Karena kebenaran itu dari Tuhanmu”. (Al-Quran).
“Hikmah adalah mutiara yang hilang dari beriman. Di mana saja kamu dapatkan ambillah”. (Hadits).
Karenanya kerjasama dan belajar tentang kebaikan dari siapa saja adalah tabiat alami dari Umat ini. Kerena percikan-percikan kebaikan itu di mana saja bersumber dari “Al-Haqq”.
Yang dimaksud tidak meniru dan menciplak dari orang lain di atas lebih pada bahwa sesungguhnya sekadar sebagai peringatan agar Umat ini dalam mindset dan mentalitas jangan kehilangan jatidiri. Bahwa apapun dan bagaimanapun keadaan dunia, jati diri Umat ini tetap “iman-Islam”.
“Wa laa tahinu wa laa tahzanu wa antum Al-a’launa in kuntum mukminin”.
Maka dalam dunai yang berkarakter saling terkait (interconnected) dan saling memerlukan (interdependent) Umat harus mampu menjaga keseimbangan antara jatidiri (izzah) dan membangun kerjasama (ta’awun) bahkan belajar (ta’aruf) bersama dari orang lain. (*)
NYC Subway, 26 Juli 2022
* Presiden Nusantara Foundation
No comments:
Post a Comment