SHOLAT bagi seorang Mukmin menjadi kata terpopuler dalam tatanan hukum agama. Sholat adalah perintah dan karenanya menjadi kewajiban atas setiap orang beriman.
Sholat diyakini sebagai perintah “pertama” dan terpenting dalam tatanan ajaran agama Islam. Dan karenanya perintah sholat adalah perintah yang juga paling sering diulang-ulang dalam Al-Quran.
Urgensi Sholat juga terlihat pada “kaefiyat” (how) atau bagaimana Allah menetapkannya sebagai kewajiban. Bukan dengan proses alami seperti perintah lainnya. Tapi melalui proses extraordinary (luar biasa) dengan memperjalankan hambaNya di malam hari seraya mengangkatnya ke puncak ketinggian (Sidratul Muntaha). Di atas ketinggian itulah Allah menyampaikan perintah yang juga extraordinary (dahsyat) itu.
Kedahsyatan sholat itu karena sholat merupakan penentu realita keislaman seorang Mukmin. Dan karenanya sholat menjadi “tiang” atau fondasi agama. Sholat juga menjadi pembatas antara keimanan/keislaman dan kekufuran/kemunafikan. Bahkan hingga pada akhirnya semua amalan hamba akan banyak ditentukan oleh sholatnya. Karena sholatlah yang pertama kali akan dihisab dan menentukan diterima atau ditolaknya amalan hamba di hari Kiamat kelak.
Sesungguhnya urgensi sholat juga terkait langsung dengan kehidupan seorang Mukmin. Sholat yang berarti “komunikasi, hubungan, koneksi” dan yang semakna itu memang menjadi jalan pintas dalam membangun relasi dan komunikasi dengan Pencipta. Dengan sholat seorang Mukmin secara konstan terhubungkan dengan Dia yang memilki alam semesta dan segala isinya.
Esensi hubungan itu ada pada komunikasi. Komunikasi itu tentu esensinya ada “mengingat”. Kata mengingat atau “dzikir” inilah yang menjadi esensi dasar dari solat yang tersimpulkan dalam ayat Al-Quran: “dirikanlah sholat untuk mengingat Aku”.
Maka sholat itu esensinya pada mengingat Allah yang dengannya seorang Mukmin melakukan perjalanan vertikal spiritual (mi’raj) untuk bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan sang Pencipta langit dan bumi.
Di momen bermi’raj itulah seorang Mukmin menyampaikan segala isi hati dan pikiran. Mengosongkan diri (takhalli) dengan segala daya (khusyu’) menuju kepada pertemuan batin (tajalli) dengan Rabbnya.
Di saat batin terkoneksi dengan Allah dalam ingatan yang kokoh, di saat itulah seorang Mukmin akan merasakan kebahagiaan dan keindahan hidup tiada tara. Itulah hakikat “dengan dzikrullah hati menjadi tenang”. Bahkan Rasulullah pun meminta kepada Bilal: “arihna ya Bilal” (wahai bilal jadilah wasilah ketenangan) dengan panggilan sholat (azan).
Dengan semua itu masihkah kita lalai dan tak peduli dengan sholat? Semoga tidak! (*)
NYC Subway, 22 Pebruari 2023
* Presiden Nusantara Foundation
No comments:
Post a Comment