Prof Dr Mohammad Kosim |
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)--segera berubah menjadi UIN Madura-- kembali menelurkan empat orang guru besar baru. Dua orang guru besar bidang pendidikan Islam, satu orang bidang filsafat pendidikan Islam dan satu orang bidang hukum Islam. Satu dari guru besar bidang pendidikan Islam itu adalah Prof Dr Mohammad Kosim MAg. Berikut pandangan Profesor M. Kosim tentang tantangan pendidikan Islam ke depan seperti disampaikan kepada DutaIndonesia.com dan DutaJatim.com.
MASDAWI DAHLAN, Pamekasan
SAAT ini pendidikan Islam sudah cukup maju. Termasuk dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Ilmuwan dan periset dari dunia pendidikan Islam juga semakin banyak.
Banyak santri juga belajar di sekolah/kampus luar negeri. Namun demikian justru tantangan pendidikan Islam menjadi semakin kompleks mengingat kegetolan dalam dunia iptek, khususnya teknologi informasi (TI) hingga artificial intelligence (AI), yang justru menjauhkannya pada Tuhan.
Maka, kemajuan pendidikan Islam jangan sampai melupakan Tuhan. Kualitas pendidikan Islam juga tetap harus mengutamakan masalah ketuhanan atau ketauhidan.
Prof Dr Mohammad Kosim menilai sekarang dan yang akan datang tantangan pendidikan Islam adalah masalah mutu. Gambarannya adalah saat ini kondisi madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA) misalnya jumlahnya ribuan.
Dan, dari jumlah itu hanya 10 persen yang madrasah negeri. Sedang madrasah swasta identik dengan keterbatasan sarana dan prasarana, SDM, dan lainnya, sehingga otomatis mutunya kalah bersaing dengan sekolah negeri.
Sementara sekolah umum, lanjut Kosim, kondisinya terbalik. Sekolah negeri mulai SD, SMP, dan SMA mayoritas. Sementara swasta minoritas atau lebih sedikit. Tentu sekolah negeri identik dengan kecukupan sarana prasarana, SDM, sehingga secara umum sekolah negeri umum lebih berkualitas dibanding swasta. Kalaupun ada swasta yang maju itu persentasenya sangat kecil sekali.
“Itu madrasah, hanya 10 persen yang negeri, sisanya swasta. Yang umumnya adalah terbatas sarana prasarana dan SDM. Di perguruan tinggi Islam juga begitu, dari ratusan perguruan tinggi Islam, hanya 70 yang negeri baik UIN, IAIN maupun STAIN. Jadi di perguruan tinggi Islam pun demikian,” kata Kosim kepada Global News, Senin (26/6/2023).
Dari ratusan perguruan tinggi Islam, kata Kosim, yang negeri hanya 70-an, sementara ratusan lainnya itu adalah perguruan tinggi swasta. Lagi-lagi perguruan tinggi negeri identik dengan kecukupan antara prasarana maupun SDM. Beda sekali dengan swasta, walaupun ada perguruan tinggi Islam swasta itu yang bersaing, tapi hanya bisa dihitung dengan jari. Selebihnya mayoritas di bawah standar.
Dalam perbandingannya yang lehih luas lagi, kata Kosim, perguruan tinggi Islam yang negeri pun dari 70 UIN, IAIN dan STAIN, yang dinilai berkualitas bisa dihitung dengan jari. Hal ini jika dibandingkan dengan perguruan tinggi umum atau sekolah umum.
“Ini di dalam negeri. Jadi mutu pendidikan Islam menjadi masalah sekarang dan yang akan datang. Sementara pendirian madrasah swasta maupun perguruan tinggi Islam swasta juga masih terus dibuka oleh pemerintah. Jadi yang pertama soal mutu, kedua soal kemampuan bersaing,” ungkap mantan Rektor IAIN Madura ini.
Lantas bagaimana dengan banyaknya santri yang kuliah ke luar negeri, apakah kita dianggap kalah saing? Kosim mengatakan hal itu belum tentu juga. Karena mereka para santri yang keluar negeri di antaranya karena memang ada program beasiswa dari luar negeri. Itu adalah bagian dari program pemerintah. Namun dia mengakui memang di perguruan tinggi tertentu di luar negeri ada yang luar biasa, misalnya Al Azhar di Kairo Mesir yang menjadi kiblat pendidikan dunia.
“Tapi perguruan tinggi Islam tertentu (di dalam negeri) bisa bersaing dengan beberapa perguruan tinggi Islam di luar negeri. Termasuk juga misalnya tentang kualitas produk dalam negeri kita untuk kajian keIslaman, misalnya, banyak pesantren kita berkualitas walaupun manajemen masih tradisional, tapi lulusannya bisa diadu dengan lulusan luar negeri. Misalnya Gus Baha itu produk pesantren dalam negeri yang bisa diadu dengan lulusan luar negeri,” ungkapnya.
Apalagi saat ini, lanjut Kosim, Kementerian Agama RI memiliki program Mahad Ali, yaitu lembaga kader ulama. Mereka yang mau masuk ke lembaga ini tidak mudah sebab harus menguasai kitab tertentu, dan lulusannya bisa dipastikan mereka menguasai kajian kitab kuning kajian kontemporer dan segala macam, sehingga bisa diadu dengan lulusan luar negeri.
Banyaknya santri belajar di luar negeri, kata Kosim, perlu mendapat apresiasi. Keuntungannya, pertama santri atau lulusan pesantren tidak lagi berkecimpung di dalam negeri. Kedua mereka biasanya dapat beasiswa, sehingga mereka semangat karena ada beasiswa. Ketiga tentu dengan studi keluar negeri pulangnya bisa memperkaya kajian keIslaman atau pengelolaan kelembagaan Islam.
Tantangan berikutnya adalah perkembangan teknologi informasi yang luar biasa pesat. Soal ini, kata Kosim, bisa jadi masalah kalau tidak disikapi. Maksudnya dengan teknologi luar biasa dan adanya Artificial Intelligence (AI), kecerdasan buatan, yang luar biasa dengan sangat mudah mengarungi hidup ini, jangan sampai siswa di madrasah dan perguruan tinggi berterimakasih kepada teknologi, jangan melupakan Tuhan. Harus diperkuat dengan aspek teologi ketuhanan, ketauhidan.
“Problemanya adalah perilaku akhlaq. Tantangan media, mereka dengan mudah mengekspose apa saja, sehingga mereka bisa mengakses situs porno, misalnya, ini bisa merusak anak-anak kita. Tantangan berikutnya terbukanya informasi, anak-anak bisa belajar agama lewat medsos yang dikhawatirkan, belajar agama yang mengarah kepada ajaran radikal yang menghasut. Itu tantangan pendidikan Islam ke depan,” pungkasnya. (*)
No comments:
Post a Comment