Pendiri Sanggar Bimbingan Sungai Mulia 5 Gombak Kuala Lumpur, Malaysia, Mimin Mintarsih, bersama anak didiknya yang kini sekolah di Pondok Pesantren An-Nashr, Wajak, Kab. Malang.
|
Video wawancara khusus dengan Dra Hj Mimin Mintarsih soal masa depan pendidikan Anak-anak PMI di Malaysia.
KUALA
LUMPUR (DutaJatim.com) - Anak-anak
Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri banyak mengalami kesulitan saat
hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Pasalnya, status
kewarganegaraan mereka di negeri orang tidak jelas lantaran perkawinan orang
tuanya dilakukan secara siri.
Ratusan
bahkan ribuan anak-anak PMI ini perlu diselamatkan masa depannya dengan
memberikan pendidikan yang layak di Tanah Air. Selain dialami anak-anak PMI di
Taiwan dan Hongkong, putra-putri PMI di negeri jiran Malaysia juga menghadapi
masalah yang sama.
Untuk itu
pendiri sekolah non-formal Sanggar Bimbingan Sungai Mulia (SBSM) 5 Gombak Kuala
Lumpur, yang juga Ketua Pengurus Cabang Istimewa Muslimat Nahdlatul Ulama (PCI
MNU) Malaysia, Dra Hj Mimin Mintarsih, membuat terobosan mengirim sejumlah
siswa SBSM 5 Gombak Kuala Lumpur untuk menempuh pendidikan lanjutan di
sekolah formal di Tanah Air. Enam siswa SBSM 5 Gombak mulai Senin
(28/8/2023) melanjutkan sekolah SMP di lingkungan Pondok Pesantren An-Nashr,
Wajak, Kab. Malang.
"Semoga
anak-anakku tetap semangat. Yang sabar, walaupun kalian jauh dengan orang tua
tapi demi masa depan yang lebih baik, kejarlah cita-cita kalian sampai
tercapai. Semoga Allah memudahkan semua urusan kalian. Aamiin," kata Mimin
Mintarsih saat mengantar anak-anak PMI tersebut mendaftar di Ponpes An-Nashr
Malang.
Saat
dihubungi DutaJatim.com (DutaIndonesia Group), Rabu (6/9/2023), Mimin Mintarsih
dan rombongan sudah tiba kembali di Kuala Lumpur. Dia bersyukur proses
pendaftaran anak didiknya di sekolah formal di Indonesia berjalan lancar.
Selain sekolah di Ponpes An-Nashr
Malang, sejumlah siswa SBSM 5 Gombak Kuala Lumpur yang lain juga ada yang
melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren di Sumatera Utara.
Mimin
yang alumni Ponpes Seblak, Kabupaten Jombang, mengatakan, anak-anak PMI itu
tidak menghadapi masalah ekonomi selama hidupnya di Malaysia sebab penghasilan
orang tuanya cukup untuk membiayai pendidikannya. Bahkan sampai di perguruan
tinggi.
Hanya
saja, mereka menghadapi kendala statusnya bukan warga negara Malaysia dan juga
bukan warga negara Indonesia. Karena
itu, setelah kelas 5 di sekolah non-formal SBSM 5 Gombak Kuala Lumpur, mereka
kesulitan saat ada ujian negara. Apalagi untuk melanjutkan ke SMP. Karena itu,
Mimin pun mencarikan mereka jalan keluar dengan bersekolah di Indonesia.
Dia
bersyukur saat menghadiri peringatan Satu Abad NU di Sidoarjo sempat bertemu
dengan seseorang yang kemudian menunjukkan Ponpes An-Nashr di Malang itu.
Bahkan mengantarkan bertemu dengan pengurus lembaga pendidikan di ponpes
tersebut.
Beruntung
pula Atase Pendidikan KBRI Kuala Lumpur membantu anak-anak PMI ini agar
memiliki kejelasan status sebagai warga negara Indonesia. Saat berangkat ke
Indonesia, staf KBRI Kuala Lumpur juga mengantarnya ke Imigrasi di Bandara
Kuala Lumpur sehingga perjalanan mereka pun lancar sampai di Bandara Juanda
Surabaya.
"Terima
kasih untuk KBRI Kuala Lumpur yang telah membantu kami, antara lain dengan
menerbitkan Surat Perjalanan Laksana
Paspor Republik Indonesia untuk anak-anak tersebut. Juga para relawan yang
telah membantu kami," katanya.
Surat
Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) adalah dokumen pengganti paspor yang diberikan
dalam keadaan tertentu yang berlaku selama jangka waktu tertentu. SPLP untuk
warga Negara Indonesia berlaku untuk perjalanan keluar masuk wilayah Indonesia.
Selama
ini Mimin dikenal getol memperjuangkan pendidikan anak PMI. Salah satunya
dengan mendirikan SBSM 5 Gombak Kuala
Lumpur. Siswanya semula hanya 50 anak, tapi sekarang sudah mencapai ratusan
siswa. Untuk tempat belajar, Mimin menyewa satu rumah dan berencana pula
membuka pesantren di Malaysia.
"Tapi
syaratnya sangat berat di Malaysia kalau untuk mendirikan lembaga
pendidikan," katanya. Kegigihan
Mimin memperjuangkan nasib anak-anak PMI itu akhirnya membuahkan hasil. Dia
mendapat anugerah Hasan Wirajuda Award dari Kementerian Luar Negeri sebagai
satu-satunya aktivis yang peduli terhadap masa depan anak-anak PMI.
Selama
ini, kata dia, kendala pendidikan anak-anak PMI justru ada apa orang tuanya
sendiri. Sebagian di antara orang tua mereka ada yang tidak ingin anaknya
sekolah.
"Maklum
mereka hanya memikirkan kerja mencari uang. Tapi saya terus berusaha
mengedukasi mereka agar anak-anak bisa sekolah. Mereka ini full day, jadi sekolah
sampai sore saat pulang baru dijemput orang tuanya," katanya. (gas)
No comments:
Post a Comment